Jumat, 06 Juni 2008

KENAPA KITA GAMPANG TERPANCING?

Bentrok Monas”, begitu saya suka menyebutnya, dimana sejumlah orang yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam) menyerang sejumlah orang yang menyebut dirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kejadiannya di Monas, sebuah tempat penting yang merupakan ikon bangsa.

Bentrok Monas sebenarnya hanya merupakan peristiwa biasa yang tidak seberapa. Yang luar biasa adalah liputan media dengan segala ulasannya dan reaksi dari para pejabat di Indonesia. Luar biasa, karena hanya untuk peristiwa seperti itu, liputan media sedemikian maraknya dan perkara ini langsung ditanggapi oleh presiden. Apakah karena peristiwa ini terjadi di Jakarta?

Orang bisa saja berdalih dan mengemukakan berbagai penelahaan maupun ulasannya untuk membuat peristiwa ini menjadi “sangat besar”. Media yang mempunyai agenda sendiri bahkan mungkin mempunyai skenario untuk membuat “setting” untuk menjadikan peristiwa karena ada target tertentu. Kelompok yang mengaku sebagai aliansi kebangsaan itu juga tidak jelas asal usulnya, anasirnya, walaupun ada seorang yang konon seorang kiyai bergabung dalam kelompok itu dan menyebut-nyebut Nahdatul Ulama ketika diwawancarai TV.

Yang pasti terlihat adalah reaksi berlebihan terhadap peristiwa ini. Peristiwa ini memang potensial untuk dibesarkan dan dimediakan secara besar-besaran. Sebagaimana sering dikatakan para sejarawan bahwa “sebatang pohon yang besar berawal dari biji yang kecil”. Tetapi apakah bentrok itu mesti dilaporkan ke Mabes Polri atau Polda? Selain ingin menunjukkan peristiwa ini berskala nasional dan sepertinya sangat gawat, ini menunjukkan semangat otonomi dan desentralisasi yang setengah hati.

Bentrok monas selayaknya cukup ditangani oleh kepolisian setempat saja. Dalam kasus ini “tangan Polri” di Jakarta yang sekelas Polres dan Polsek sepertinya dimandulkan atau dianggap tidak mampu untuk menangani peristiwa sekelas itu. Artinya Polri sendiri tidak punya keinginan untuk meningkatkan kapasitas aparat di bawahnya. Selain itu, peristiwa demikian cukup dikomentari oleh Walikota atau Gubernur DKI. Kalau sampai presiden ikut berkomentar, pancingan pihak-pihak yang mendisain bentrok monas, justeru berhasil. Apalagi tempatnya di monas. Ini berarti betul-betul skala nasional. Apa kata dunia?

Saya tidak ingin membela FPI juga tidak ingin menyalahkannya. Sebagaimana saya sangat tidak ingin bersimpati kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagaimana juga tidak ingin menghujatnya. Meski jujur saja, sebagai anak bangsa, saya kagum dengan Aliansi ini yang berniat memperingati mengkristalnya nilai-nilai bangsa dalam falsafah Pancasila, di saat nasionalisme dan jatidiri bangsa sedang menurun. Tetapi saya juga menyadari betapa tidak logisnya kelompok ini. Tidak ada kebebasan dalam beragama, yang ada adalah kebebasan dalam memilih agama.

Agama bukan musik rock yang membuat penyanyinya jumpalitan seenaknya. Tetapi cobalah penyanyi rok suaranya sumbang, pales, atau musiknya diganti dangdut. Namanya bukan rock lagi. Atau cobalah beri nama kelompok musik itu rock tetapi lagu yang dinyanyikan dangdut sementara pakaiannya ala keroncongan, dan tidak ada nada atau irama yang dipakai? Apakah ia masih berhak disebut musik rock? Lha, wong musik rock saja ada pakem-nya. Masak agama dibuat bebas? Kalau kebebasan agama dan kebebasan berkeyakinan dibuka lebar-lebar, apakah agama lagi namanya? Yang benar saja!

Yang pasti bentrok monas bukanlah peristiwa yang terjadi begitu saja. Ada pihak yang membuat skenario dan merencanakan sesuatu di balik itu. Sebagai bangsa, kita harus lebih cerdas untuk tidak terpancing dengan ”umpan-umpan” apalgi cuma umpan kecil yang dikirimkan oleh orang luar ataupun para petualang yang ingin memancing kekeruhan di republik ini. Di tengah ataupun dibalik isu demokratisasi dan penghormatan atas hak asasi manusia, ataupun atas nama kebinekaan, orang dapat membuat aksi-aksi yang sebenarnya melupakan esensi eksistensi kita sebagai bangsa yakni penghayatan agama, adat ketimuran, dan kebersamaan. Bukan sekedar mencuatkan diakui karena berbeda.

Akhir-akhir ini kita seperti bangsa yang tidak punya identitas dan terombang-ambing dalam isu-isu yang dilempar pihak luar. Isu globalisasi ekonomi, kesetaraan gender, dan benyak isu aneh yang sebenarnya tidak kita perlukan karena nilai-nilai budaya kita sangat kental dengan nuansa-nuansa tersebut, meskipun tidak dilaksanakan secara vulgar dan ekstrem. Kata kuncinya ada pada keberanian pemerintah untuk bertindak tegas terhadap akar masalahnya misalnya menindaklanjuti fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah. Ini jika pemerintah kita menganggap MUI sebagai lembaga yang penting dan bukan sekedar lembaga boneka atau sekedar pendorong mobil mogok kebijakan pemerintah.

Kita semestinya menyelidiki lebih dalam tentang isu-isu dan gejolak yang sengaja diciptakan oleh asing dan kaki tangannya, dengan lebih berani memihak pada kepentingan bangsa dan bukan sekedar agenda internasional. Diperlukan intelijen yang lebih cerdas dan lebih tangkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar