Selasa, 12 Agustus 2008

DEWI PERSIK DITOLAK DI SAMPIT

Dewi Persik, si "goyang gergaji" akhirnya batal manggung di Sampit. Penolakan ormas Islam yang antara lain dimotori oleh Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang disampaikan ke DPRD, Polres, dan Penyenggara, berbuah, dengan dibatalkannya konser musik dalam rangka promosi sebuah merek rokok.

Mungkin ada yang melihat ini sebagai sebuah kemajuan sikap masyarakat Kotawaringin Timur melihat maraknya aksi pornoaksi di belantara bisnis hiburan di daerah ini. Sesungguhnya ini hanya setitik terang yang lebih pantas disebut simbolik saja. Banyak kegiatan hiburan malam di kafe dan panggung lainnya yang tidak kalah seronok dan maksiatnya. Istilah ini meminjam komentar Rhoma Irama mengomentari goyang panggung pedangdut sekarang yang katanya bukan seni tetapi maksiat. Contohnya waktu HUT Kotim Januari 2008 lalu yang digelar di dermaga PPM, apakah goyangannya sopan?

Tetapi jangan diperpanjang lah, sikap maju ini perlu diacungi jempol. Apalagi sebagai "ganti" ketidakhadiran Dewi Persik, Bupati Kotawaringin Timur mengundang Ustad Albar dari Jakarta di rumah jabatan dan menampilkan nasyid yang biarpun lokal, cukup berkualitas.

Kedepan tentu kita ingin Sampit lebih agamis lagi. Sebab hanya dengan menjadi kota yang menjauhi maksiat lah, sebuah kota akan lebih tenang dan tenteram. Ini tentu bukan langkah mudah, banyak orang yang mengatasnamakan hiburan dan kebebasan menganggap maksiat sebagai sebuah wadah menangguk rupiah.

RENTENIR SEBAGAI TERORIS EKONOMI

Pembicaraan tentang terorisme selalu dikaitkan dengan kekerasan fisik dengan latar belakang politik ataupun ideologi. Teror selalu diterjemahkan sebagai ancaman atas keselamatan raga ataupun jiwa sebagai manifestasi dari sifat sadis dan antisosial para pelakunya. Sehingga dimana pun, teroris dipandang sebagai mereka yang tidak berperikemanusiaan sehingga harus dimusuhi bahkan bila perlu dihancurkan.

Asumsi bahwa terorisme berlatar belakang politik muncul karena terorisme kerap merupakan bentuk aksi (mungkin pula reaksi) dari sekelompok orang yang punya pandangan yang berbeda dari penguasa yang memilih jalan ekstrim dan radikal untuk menyalurkan ketidaksukaan. Perlawanan terorisme –dalam kasus ini- merupakan letupan ketidakpuasan dengan cara mencari perhatian publik.

Terorisme berlatar ideologis lebih rumit dan umumnya muncul akibat penekanan terhadap keyakinan atau faham seseorang dalam jangka panjang. Pelakunya meyakini diri mereka telah dijahati secara sistematis oleh kekuasaan. Sementara koridor politik yang ada tidak memberi apa-apa kepada mereka selain kekecewaan dan peminggiran (marjinalisasi).

Karenanya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa teroris tidak dilahirkan tetapi diciptakan. Tempat terbaik bagi terciptanya terorisme adalah wilayah-wilayah yang di tempat itu terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kemiskinan bukan lahan subur bagi terciptanya teroris, demikian pula tidak ada agama apa pun yang menganjurkan pemeluknya untuk melaksanakan teror, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang jelas.

Terorisme berlatar belakang ekonomi amat jarang ditemui. Hal ini karena ketidakadilan ekonomi berbeda dengan ketidakadilan politik atau hukum. Ketidakadilan ekonomi dalam bentuk ketimpangan pendapatan, ketidakadilan untuk memperoleh peluang berusaha, dan akses terhadap sumberdaya, ataupun bentuk ketidakadilan ekonomi lain, sering dipandang sebagai bagian dari proses ekonomi itu sendiri.

Penghisapan dari pemodal kepada pekerja, pengerukan sumberdaya alam oleh pemodal tanpa mensejahterakan masyarakat, dan peminggiran masyarakat dalam berusaha karena sistem kapitalistik sebenarnya juga bentuk ketidakadilan. Namun demikian, kejahatan terbesar dalam bidang ekonomi terhadap kemanusiaan adalah berlakunya ekonomi ribawi yang memandang adanya nilai waktu dari uang. Selain penempatan uang sebagai barang dagangan (komoditas), bukan hanya sebagai alat pembayaran.

Namun demikian, yang terkeji adalah berlakunya ekonomi rente yang menghisap orang-orang miskin dengan bunga amat tinggi. Para rentenir ini, entah apapun kedoknya, mematok bunga pinjaman 10 sampai 30 persen perbulan kepada para peminjamnya. Jauh diatas bunga bank yang rata-rata hanya satu persen perbulan. Para rentenir ini di banyak daerah telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, yang malangnya, tidak lain adalah saudara sebangsa sendiri.

Teror para rentenir jauh lebih keji dari teroris politik ataupun ideologi. Para rentenir menghisap dan menyakiti korbannya dalam keadaan hidup, menghisapnya terus, seperti lintah yang kelaparan. Namun lintah akan berhenti pada kapasitas tertentu, sementara rentenir lebih sadis dan tidak ada puasnya. Sehingga istilah ”lintah darat” –pun sebenarnya masih terlalu sopan untuk menggambarkan tidak bermoralnya para rentenir.

Sudah Banyak Korban

Korban kekejian para rentenir sudah banyak. Di Cianjur, Jawa Barat, sebagaimana dilaporkan Republika online, banyak sekali pelaku usaha yang terjerat rentenir. Ketua Koperasi Pemberdayaan Umat Cianjur, Aat Aminudin, menyatakan bahwa dalam sehari peredaran uang dari rentenir didaerahnya mencapai Rp 500 juta. Ia menjelaskan, ”Pada saat meminjam uang Rp 100 ribu rupiah dari rentenir, uang yang mereka terima hanya Rp 90 ribu. Sebanyak Rp 10 ribu dipangkas sebagai administrasi. Sedangkan untuk mengembalikannya sejumlah Rp 120 ribu.”

Sementara di Bantul, kredit masyarakat ke rentenir mencapai 72 milyar rupiah. Menurun dari tahun 2006 yang mencapai 100 milyar. ”Ini sungguh membebani pedagang karena beban bunganya antara 10 hingga 20 persen per bulan,” kata Bupati Bantul, Idham Samawi, usai meresmikan kembali gedung Bank BPD DIY cabang Bantul beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip situs resmi Depdagri.

Lebih parah, banyak pula rentenir yang melegalkan diri dengan berkedok sebagai koperasi simpan pinjam. Bahkan ada yang menagih dan mengancam korbannya dengan alasan bahwa koperasinya resmi dan berbadan hukum, sehingga para peminjam yang tidak melunasi kewajibannya akan dilaporkan ke polisi.

Adanya rentenir berkedok koperasi, membuat Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Drs. Suryadarma Ali, geram. ”Koperasi yang berpraktek sebagai rentenir dengan bunga antara lima hingga sepuluh persen perhari maka sepantasnya koperasi itu ditindak dan kalau perlu dibubarkan,” ujarnya saat berdialog dengan para pengelola koperasi di Jombang, sebagaimana dikutip situs www.Indonesia.go.id. Menurutnya, ”Jika ada koperasi mengenakan bunga lima sampai 10 persen perhari, itu merupakan penindasan.”

Dengan maraknya aksi rentenir itu, tidak mengherankan jika beberapa waktu lalu puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Rentenir (AMAR) menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Kota Malang. Mereka mendesak praktek-praktek rentenir dihentikan dan diperlakukan hukum yang seberat-beratnya.

Bagaimana dengan Kita?

Seorang perempuan yang tinggal di di Perumahan Sawit Raya Sampit menginformasikan bahwa dirinya merupakan anggota dari sebuah koperasi yang menjalankan pinjaman kepada yang membutuhkan dengan bunga mencapai 20% per bulan. Sebagai anggota koperasi yang katanya beralamat di Jalan Batu Virus, ia meminjamkan uang dan menagih kembali pinjaman beserta bunganya. Untuk aktifitasnya, perempuan dari Sumatera Utara ini menerima bagian dari koperasi tersebut.

Informasi tentang praktek rentenir tersebut merupakan bukti bahwa penghisapan melalui ”bisnis uang” juga terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur. Indikasi adanya praktek rentenir ini semestinya menjadi warning yang harus diwaspadai oleh seluruh elemen masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang ekonominya sedang sulit, menjadi diperparah oleh praktek demikian.

Digunakannya koperasi sebagai kedok dalam upaya melegalkan kegiatan rentenir sangat memprihatinkan. Begitu banyak upaya dan dana yang digunakan pemerintah dalam upaya mengangkat citra koperasi untuk menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat. Namun upaya pemerintah ini begitu mudahnya dipelintir oleh sekelompok orang untuk mengeruk keuntungan pribadinya.

Memerangi para rentenir memerlukan kesadaran dan komitmen semua pihak, bukan hanya pemerintah semata. Para tokoh agama dan rohaniawan dituntut tanggung jawabnya untuk mengatasi penyakit ekonomi ini. Mengatasi kegiatan rentenir tidak bisa dilakukan jika salah satu agama dengan tegas menyatakan bahwa ekonomi ribawi dilarang, sementara agama atau kalangan lain menyatakan bahwa rentenir merupakan masalah negara yang terpisah dengan masalah agama.

Praktek rentenir merupakan penyakit klasik dalam ekonomi kapitalistik. Tetapi sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, semestinya penghisapan kepada manusia lain dengan dalih apa pun sudah selayaknya diberantas. Agama yang membolehkan adanya praktek penghisapan semacam rentenir ini perlu dicermati apakah salah tafsir dari pemeluknya ataukah memang praktek tersebut dianggap boleh dalam agama tersebut.

Jika tercipta kesepakatan untuk melawan para rentenir, maka selanjutnya adalah bagaimana mengkondisikan agar praktek rentenir tidak bisa tumbuh. Misalnya menciptakan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat, menciptakan program yang secara langsung ”menghadang” praktek rentenir ini, dan sebagainya. Termasuk menindak adanya koperasi-koperasi yang berpraktek rentenir.

Untuk menginventarisirnya cukup mudah yakni melihat tingkat bunga pinjaman yang mereka pergunakan. Bila bunganya melebihi bunga bank yang berlaku dengan tidak wajar, bisa dipastikan bahwa koperasi tersebut melaksanakan rentenir dan memberi pinjaman kepada yang bukan anggotanya serta tidak ada keterlibatan para peminjam dalam kegiatan koperasi lain selain meminjam uang.

Kerugian ekonomi masyarakat akibat praktek rentenir amat besar dan menimbulkan dampak lain yang tidak kecil. Oleh karenanya merupakan tugas seluruh masyarakat, terutama Pemerintah Daerah untuk membangun komitmen memerangi dan membasmi kegiatan rentenir di daerah ini. Sebab jika ulah para rentenir ini dibiarkan, akan banyak menimbulkan kesengsaraan dan berpotensi menggagalkan upaya merintis ekonomi berbasis kerakyatan.

Upaya ini dapat dilakukan dengan program nyata dari instansi teknis terkait yang langsung menyentuh masyarakat dan berhadapan langsung menghadang praktek penghisapan rakyat tersebut. Termasuk dalam upaya ini adalah menindak tegas, sekiranya ada aparat yang berpraktek sebagai rentenir, apalagi tergolong sebagai pejabat di instansi yang justeru seharusnya memerangi praktek rentenir.