Selasa, 12 Agustus 2008

DEWI PERSIK DITOLAK DI SAMPIT

Dewi Persik, si "goyang gergaji" akhirnya batal manggung di Sampit. Penolakan ormas Islam yang antara lain dimotori oleh Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang disampaikan ke DPRD, Polres, dan Penyenggara, berbuah, dengan dibatalkannya konser musik dalam rangka promosi sebuah merek rokok.

Mungkin ada yang melihat ini sebagai sebuah kemajuan sikap masyarakat Kotawaringin Timur melihat maraknya aksi pornoaksi di belantara bisnis hiburan di daerah ini. Sesungguhnya ini hanya setitik terang yang lebih pantas disebut simbolik saja. Banyak kegiatan hiburan malam di kafe dan panggung lainnya yang tidak kalah seronok dan maksiatnya. Istilah ini meminjam komentar Rhoma Irama mengomentari goyang panggung pedangdut sekarang yang katanya bukan seni tetapi maksiat. Contohnya waktu HUT Kotim Januari 2008 lalu yang digelar di dermaga PPM, apakah goyangannya sopan?

Tetapi jangan diperpanjang lah, sikap maju ini perlu diacungi jempol. Apalagi sebagai "ganti" ketidakhadiran Dewi Persik, Bupati Kotawaringin Timur mengundang Ustad Albar dari Jakarta di rumah jabatan dan menampilkan nasyid yang biarpun lokal, cukup berkualitas.

Kedepan tentu kita ingin Sampit lebih agamis lagi. Sebab hanya dengan menjadi kota yang menjauhi maksiat lah, sebuah kota akan lebih tenang dan tenteram. Ini tentu bukan langkah mudah, banyak orang yang mengatasnamakan hiburan dan kebebasan menganggap maksiat sebagai sebuah wadah menangguk rupiah.

RENTENIR SEBAGAI TERORIS EKONOMI

Pembicaraan tentang terorisme selalu dikaitkan dengan kekerasan fisik dengan latar belakang politik ataupun ideologi. Teror selalu diterjemahkan sebagai ancaman atas keselamatan raga ataupun jiwa sebagai manifestasi dari sifat sadis dan antisosial para pelakunya. Sehingga dimana pun, teroris dipandang sebagai mereka yang tidak berperikemanusiaan sehingga harus dimusuhi bahkan bila perlu dihancurkan.

Asumsi bahwa terorisme berlatar belakang politik muncul karena terorisme kerap merupakan bentuk aksi (mungkin pula reaksi) dari sekelompok orang yang punya pandangan yang berbeda dari penguasa yang memilih jalan ekstrim dan radikal untuk menyalurkan ketidaksukaan. Perlawanan terorisme –dalam kasus ini- merupakan letupan ketidakpuasan dengan cara mencari perhatian publik.

Terorisme berlatar ideologis lebih rumit dan umumnya muncul akibat penekanan terhadap keyakinan atau faham seseorang dalam jangka panjang. Pelakunya meyakini diri mereka telah dijahati secara sistematis oleh kekuasaan. Sementara koridor politik yang ada tidak memberi apa-apa kepada mereka selain kekecewaan dan peminggiran (marjinalisasi).

Karenanya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa teroris tidak dilahirkan tetapi diciptakan. Tempat terbaik bagi terciptanya terorisme adalah wilayah-wilayah yang di tempat itu terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kemiskinan bukan lahan subur bagi terciptanya teroris, demikian pula tidak ada agama apa pun yang menganjurkan pemeluknya untuk melaksanakan teror, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang jelas.

Terorisme berlatar belakang ekonomi amat jarang ditemui. Hal ini karena ketidakadilan ekonomi berbeda dengan ketidakadilan politik atau hukum. Ketidakadilan ekonomi dalam bentuk ketimpangan pendapatan, ketidakadilan untuk memperoleh peluang berusaha, dan akses terhadap sumberdaya, ataupun bentuk ketidakadilan ekonomi lain, sering dipandang sebagai bagian dari proses ekonomi itu sendiri.

Penghisapan dari pemodal kepada pekerja, pengerukan sumberdaya alam oleh pemodal tanpa mensejahterakan masyarakat, dan peminggiran masyarakat dalam berusaha karena sistem kapitalistik sebenarnya juga bentuk ketidakadilan. Namun demikian, kejahatan terbesar dalam bidang ekonomi terhadap kemanusiaan adalah berlakunya ekonomi ribawi yang memandang adanya nilai waktu dari uang. Selain penempatan uang sebagai barang dagangan (komoditas), bukan hanya sebagai alat pembayaran.

Namun demikian, yang terkeji adalah berlakunya ekonomi rente yang menghisap orang-orang miskin dengan bunga amat tinggi. Para rentenir ini, entah apapun kedoknya, mematok bunga pinjaman 10 sampai 30 persen perbulan kepada para peminjamnya. Jauh diatas bunga bank yang rata-rata hanya satu persen perbulan. Para rentenir ini di banyak daerah telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, yang malangnya, tidak lain adalah saudara sebangsa sendiri.

Teror para rentenir jauh lebih keji dari teroris politik ataupun ideologi. Para rentenir menghisap dan menyakiti korbannya dalam keadaan hidup, menghisapnya terus, seperti lintah yang kelaparan. Namun lintah akan berhenti pada kapasitas tertentu, sementara rentenir lebih sadis dan tidak ada puasnya. Sehingga istilah ”lintah darat” –pun sebenarnya masih terlalu sopan untuk menggambarkan tidak bermoralnya para rentenir.

Sudah Banyak Korban

Korban kekejian para rentenir sudah banyak. Di Cianjur, Jawa Barat, sebagaimana dilaporkan Republika online, banyak sekali pelaku usaha yang terjerat rentenir. Ketua Koperasi Pemberdayaan Umat Cianjur, Aat Aminudin, menyatakan bahwa dalam sehari peredaran uang dari rentenir didaerahnya mencapai Rp 500 juta. Ia menjelaskan, ”Pada saat meminjam uang Rp 100 ribu rupiah dari rentenir, uang yang mereka terima hanya Rp 90 ribu. Sebanyak Rp 10 ribu dipangkas sebagai administrasi. Sedangkan untuk mengembalikannya sejumlah Rp 120 ribu.”

Sementara di Bantul, kredit masyarakat ke rentenir mencapai 72 milyar rupiah. Menurun dari tahun 2006 yang mencapai 100 milyar. ”Ini sungguh membebani pedagang karena beban bunganya antara 10 hingga 20 persen per bulan,” kata Bupati Bantul, Idham Samawi, usai meresmikan kembali gedung Bank BPD DIY cabang Bantul beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip situs resmi Depdagri.

Lebih parah, banyak pula rentenir yang melegalkan diri dengan berkedok sebagai koperasi simpan pinjam. Bahkan ada yang menagih dan mengancam korbannya dengan alasan bahwa koperasinya resmi dan berbadan hukum, sehingga para peminjam yang tidak melunasi kewajibannya akan dilaporkan ke polisi.

Adanya rentenir berkedok koperasi, membuat Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Drs. Suryadarma Ali, geram. ”Koperasi yang berpraktek sebagai rentenir dengan bunga antara lima hingga sepuluh persen perhari maka sepantasnya koperasi itu ditindak dan kalau perlu dibubarkan,” ujarnya saat berdialog dengan para pengelola koperasi di Jombang, sebagaimana dikutip situs www.Indonesia.go.id. Menurutnya, ”Jika ada koperasi mengenakan bunga lima sampai 10 persen perhari, itu merupakan penindasan.”

Dengan maraknya aksi rentenir itu, tidak mengherankan jika beberapa waktu lalu puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Rentenir (AMAR) menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Kota Malang. Mereka mendesak praktek-praktek rentenir dihentikan dan diperlakukan hukum yang seberat-beratnya.

Bagaimana dengan Kita?

Seorang perempuan yang tinggal di di Perumahan Sawit Raya Sampit menginformasikan bahwa dirinya merupakan anggota dari sebuah koperasi yang menjalankan pinjaman kepada yang membutuhkan dengan bunga mencapai 20% per bulan. Sebagai anggota koperasi yang katanya beralamat di Jalan Batu Virus, ia meminjamkan uang dan menagih kembali pinjaman beserta bunganya. Untuk aktifitasnya, perempuan dari Sumatera Utara ini menerima bagian dari koperasi tersebut.

Informasi tentang praktek rentenir tersebut merupakan bukti bahwa penghisapan melalui ”bisnis uang” juga terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur. Indikasi adanya praktek rentenir ini semestinya menjadi warning yang harus diwaspadai oleh seluruh elemen masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang ekonominya sedang sulit, menjadi diperparah oleh praktek demikian.

Digunakannya koperasi sebagai kedok dalam upaya melegalkan kegiatan rentenir sangat memprihatinkan. Begitu banyak upaya dan dana yang digunakan pemerintah dalam upaya mengangkat citra koperasi untuk menjadikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat. Namun upaya pemerintah ini begitu mudahnya dipelintir oleh sekelompok orang untuk mengeruk keuntungan pribadinya.

Memerangi para rentenir memerlukan kesadaran dan komitmen semua pihak, bukan hanya pemerintah semata. Para tokoh agama dan rohaniawan dituntut tanggung jawabnya untuk mengatasi penyakit ekonomi ini. Mengatasi kegiatan rentenir tidak bisa dilakukan jika salah satu agama dengan tegas menyatakan bahwa ekonomi ribawi dilarang, sementara agama atau kalangan lain menyatakan bahwa rentenir merupakan masalah negara yang terpisah dengan masalah agama.

Praktek rentenir merupakan penyakit klasik dalam ekonomi kapitalistik. Tetapi sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, semestinya penghisapan kepada manusia lain dengan dalih apa pun sudah selayaknya diberantas. Agama yang membolehkan adanya praktek penghisapan semacam rentenir ini perlu dicermati apakah salah tafsir dari pemeluknya ataukah memang praktek tersebut dianggap boleh dalam agama tersebut.

Jika tercipta kesepakatan untuk melawan para rentenir, maka selanjutnya adalah bagaimana mengkondisikan agar praktek rentenir tidak bisa tumbuh. Misalnya menciptakan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat, menciptakan program yang secara langsung ”menghadang” praktek rentenir ini, dan sebagainya. Termasuk menindak adanya koperasi-koperasi yang berpraktek rentenir.

Untuk menginventarisirnya cukup mudah yakni melihat tingkat bunga pinjaman yang mereka pergunakan. Bila bunganya melebihi bunga bank yang berlaku dengan tidak wajar, bisa dipastikan bahwa koperasi tersebut melaksanakan rentenir dan memberi pinjaman kepada yang bukan anggotanya serta tidak ada keterlibatan para peminjam dalam kegiatan koperasi lain selain meminjam uang.

Kerugian ekonomi masyarakat akibat praktek rentenir amat besar dan menimbulkan dampak lain yang tidak kecil. Oleh karenanya merupakan tugas seluruh masyarakat, terutama Pemerintah Daerah untuk membangun komitmen memerangi dan membasmi kegiatan rentenir di daerah ini. Sebab jika ulah para rentenir ini dibiarkan, akan banyak menimbulkan kesengsaraan dan berpotensi menggagalkan upaya merintis ekonomi berbasis kerakyatan.

Upaya ini dapat dilakukan dengan program nyata dari instansi teknis terkait yang langsung menyentuh masyarakat dan berhadapan langsung menghadang praktek penghisapan rakyat tersebut. Termasuk dalam upaya ini adalah menindak tegas, sekiranya ada aparat yang berpraktek sebagai rentenir, apalagi tergolong sebagai pejabat di instansi yang justeru seharusnya memerangi praktek rentenir.

Minggu, 08 Juni 2008

KAMPANYE HEMAT BBM DENGAN SEPEDA SANTAI

Bupati Kotawaringin Timur punya ide kreatif mengkampanyekan hemat BBM. Dengan menggandeng sejumlah Bank di Sampit, Wahyudi K. Anwar, mengagendakan sepeda santai yang dilaksanakan 8 Juni 2008. Ide ini didukung oleh jajaran Pemkab dan masyarakat, sehingga terwujudlah sependa santai keliling kota yang start dan finishnya di Taman Kota Sampit.

Warga Sampit antusias menyambut acara itu, peserta lumayan banyak. Apalagi doorprize-nya juga banyak. Seratus buah sepeda. Sumbangan sejumlah pejabat dan perusahaan di Kabupaten Kotim ini. Yang unik, banyak pejabat dan masyarakat yang bangga dengan onthel tuanya, yang konon harus dburu sampai ke pelosok bahkan ke daerah lain.

Jadi banyak manfaat dengan ide Pak Wahyudi, begitu Bupati sering disapa. Rakyat bisa terhibur dengan dogelarnya dangdutan, dapat rezeki karena ada bagi-bagi sepeda, juga sehat dan kampanye hemat BBM. Hanya saja, kalau mau lebih kreatif lagi banyak potensi Kabupaten ini yang bisa digunakan untuk hemat BBM, seperti penggunaan kincir angin, pemanfaatan kompor matahari, atau penggunaan biji jarak untuk menyalakan kompor. Lumayan, lho, apalagi lahan masih luas dan teknologinya murah pula.

Jumat, 06 Juni 2008

HEMAT ENERGI ALA SAMPIT

Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sampit merupakan lembaga pemerintah yang sangat faham akan kebijakan pemerintah dalam menghemat energi. Setidaknya dilihat dari "sangat efisiennya" PLN Sampit dalam menggunakan sumberdaya yang dimilikinya.
Betapa tidak, setelah sukses dengan program pemadaman "tiga hari sekali" kini jadual pemadaman bergiliran itu dipadatkan lagi menjadi "dua hari sekali". Ini ternyata berhasil baik, tidak ada masyarakat yang berdemo atau menyatakan ketidaksukaannya. Bahkan keadaan yang konon diakibatkan oleh karena kondisi mesin yang sudah tua itu, ternyata dapat meningkatkan penjualan genset di Sampit, lebih larisnya lilin, dan lampu teplok.
Mungkin cara ini perlu ditiru oleh daerah lain. Mungkin..................lho!

Visi Kotawaringin Timur, Antara Realita dan Cita-cita

Berani Bermimpi

Pertanyaan besar yang kerap menguap begitu saja adalah bagaimana wajah Kabupaten Kotawaringin Timur ke depan? Sepuluh, lima belas, atau bahkan 20 tahun nanti. Realita kenyataan apa yang bakal kabupaten ini hadapi? Apakah realita itu menjadi yang tercita, ataukah hanya menjadi utopia? Apakah realita hari ini menjadi cermin di masa depan?

Pertanyaan ini memerlukan keberanian untuk bermimpi. Bukankah kata orang, kemajuan dunia saat ini adalah mimpi masa lalu? Kita mungkin masih menganggap khayalan, ketika tahun 70-an, tokoh fiksi Flash Gordon berkomunikasi dengan rekannya dengan alat kecil yang menyerupai telepon dan ada gambarnya. Faktanya di tahun 2007 atau hanya terpaut satu generasi, apa yang dihayalkan itu menjadi nyata dengan hadirnya ponsel 3G.

Itulah mimpi yang dapat terwujud. Secara resmi orang menyebutnya sebagai visi, dari bahasa Inggris vision yang berari kurang lebih penghilatan atau daya lihat. Visi yang kuat telah menghantar Nokia, perusahaan pembuat ponsel itu menjadi sebesar sekarang. Dengan visi ”teknologi yang mengerti Anda”, Nokia berhasil menjembatani apa yang mereka buat dengan apa yang diinginkan pelanggannya.

Visi memang mimpi, apalagi jika visi tanpa aksi. Pastilah benar-benar mimpi di siang bolong. Namun bagaimana dengan aksi tanpa visi? Jika seseorang bertindak sepotong-sepotong tanpa tujuan yang jelas, berarti dia tidak tahu apa sebenarnya yang ingin dia capai. Ibarat berjalan hanya melangkah selangkah-selangkah, tetapi mau sampai kemana tidak tahu. Gawatlah itu.

Dengan kata lain, aksi tanpa visi nggak nikmat. Sama juga mimpi. Bedanya, kalau visi tanpa aksi ibarat mimpi di siang bolong. Maka aksi tanpa mimpi adalah mimpi panjang di tengah malam. Tidak tahu kapan terbangunnya. Tidak punya wawasan. Tidak ada greget dan daya lihat ke depan. Wuih!

Rencana dan Realita

Khayalan yang baik (dan mudah-mudahan benar), menghasilkan rencana. Rencana yang baik, berpijak pada realita. Pada kenyataan. Ini sejalan dengan nasehat orang-orang tua kita: ”Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, tetapi ingatlah bumi tempatmu berpijak.” Nasehat ini jujur saja, kadang membuat kita bingung jika disandingkan dengan nasehat yang lain ”Dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung.”

Secara formal ada rencana jangka panjang, ada rencana jangka pendek, dan ada rencana kerja. Rencana jangka panjang, anggaplah 20 tahun. Jangka menengah lima tahun, dan rencana kerja masanya cuma satu tahun. Ini kalau rencana yang kita susun mengacu pada Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai Undang-undang Nomor 25 tahun 2004. Kalau mengacu pada yang lain, misalnya pada sistem anggaran dengan konsep MTEF (Medium Term Expenditure Framework) akan ada kesatuan rencana kerja dalam masa tiga tahunan.

Daripada pusing dengan banyak istilah, maka baiknya kita berkaca pada diri kita saja. Bahasa keren-nya mencoba manyusuri pinggir tapih. Siapa sih kita? Sedang dimana? Punya apa, dan jadinya mau kemana? Lebih gamblangnya, jangan bermimpi bahwa pada tahun 2025 nanti Sampit akan seramai Surabaya. Cukuplah seramai Singapura saja. Seandainya ada orang Singapura yang berhayal bahwa pada tahun 2025 nanti Singapura sesepi Sampit, juga boleh khan?

Namanya juga mimpi. Mimpi yang bersandar pada realitas akan membuat rencana itu menjadi mungkin. Untuk itu perlu analisa-analisa. Bukan hanya analisa ekonomi, tetapi juga analisa lain yang menyangkut kehidupan masyarakat. Analisa ekonomi juga jangan hanya cukup dengan analisa SWOT. Gunakan analisa lain semisal LQ, dan banyak lagi yang para ekonom lebih tahu. Dengan analisa itu kita tahu bahwa ekonomi Kotim 25 tahun ke depan bertumpu pada bidang ini, jika begini begitu. Tetapi jika beginu begiti, maka akan seperti itu. Sehinga perlu alternatif dalam mengembangkan ini. Meskipun itu juga perlu, dan seterusnya.

Namun demikian, berdasarkan data yang ada, untuk sementara ekonomi Kotim tampaknya bertumpu pada bidang pertanian. Setidaknya data yang ada menyatakan bahwa kontribusi sektor pertanian merupakan yang terbesar yakni 38,89 % di tahun 2002 dan meningkat menjadi 40,80 % di tahun 2005. Sektor terbesar kedua adalah perdagangan sebesar 19,37 %.

Bila mau agak cerewet dengan melihat masing-masing sub-sektor, maka yang terbesar adalah subsektor perkebunan 15,15% di tahun 2003, 16,88 % di tahun 2004 dan 18,44% di tahun 2005. Sedangkan sub-sektor kehutanan pada tahun 2003 berkontribusi 5,20 %, kemudian di tahun 2004 menjadi 4,56% dan pada tahun 2005 memiliki kontribusi sebesar 4,08 %. Ini berarti subsektor perkebunan mengalami kenaikan dan subsektor kehutanan mengalami penurunan.

Ada yang tahu bahwa data ini ketinggalan jaman. Ya, memang begitu. Ini hanya sebagai gambaran bahwa data itu penting. ”Data mahal, ” kata teman yang mengerti statistik, ”tetapi membangun atau mengambil keputusan tanpa adanya data, jauh lebih mahal lagi.” Jangan bingung, sebab data yang mahal itu sering jadi data saja, ketika tidak dibaca. Atau Cuma dibaca angkanya saja dan tidak bisa menyimak apa yang ada di balik data itu. Misalnya jika pertumbuhan ekonomi lima persen, pertumbuhan penduduk tiga persen, sementara inflasi tujuh persen, artinya apa? Banyak kita yang bingung. Termasuk membedakan antara multiplayer effect dengan trickle down effect juga bingung.

Usul Visi

Menyadari realita dan sifat visi yang mesti dinamis, maka coba-coba mengusulkan visi Kotim yakni ”Mewujudkan Kotawaringin Timur sebagai pusat pelayanan jasa regional yang bertumpu pada agroindustri dan perdagangan.” Visi ini kemudian disingkat, biar lebih populer, dengan sebutan ”Visi Mentaya 2025”.

Visi ini tidak terlalu panjang, biar gampang diingat dan fokusnya jelas. Juga tidak terlalu pendek, supaya jelas maksudnya dan dapat difahami. Dalam visi ini juga tidak dicantumkan kata-kata ”adil, makmur, atau sejahtera” karena tiga unsur itu, ditulis atau tidak dalam sebuah visi, sudah merupakan kewajiban negara mewujudkan. Sudah diwajibkan oleh konstitusi!

Walaupun begitu, visi yang diusulkan tersebut sudah mencakup adanya dimensi pencapaian (pusat pelayanan jasa regional) dalam sebuah visi, adanya dimensi wilayah (Kotawaringin Timur), dan adanya dimensi waktu (2025). Selain menunjukkan adanya proses (melalui agroindustri) serta menyertakan spesifikasi (bertumpu pada agroindustri dan perdagangan).

Selanjutnya visi ini dijabarkan dalam tiga misi utama yang disebut sebagai Tiga Misi Mentaya yang mengingatkan kita pada tiga anak sungai Mentaya yang terbesar yakni Sungai Tualan, Sungai Cempaga, dan Sungai Sampit. Ketiga ini misi itu tidak terpisah dan mengalir sebagaimana anak-anak sungai Mentaya menjadi satu dan membentuk rangkaian kesatuan yang saling bergantung dan membutuhkan.

Misi itu adalah (1) mengembangkan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan, agama, kesehatan, dan pengembangan ekonomi kerakyatan; (2) Mengembangkan kualitas sumberdaya buatan melalui pengembangan infrastruktur, penataan ruang, dan pelestarian lingkungan, dan (3) menjaga identitas budaya melalui pengembangan budaya rumah betang dalam kehidupan sosial kemasyarakat untuk tetap menghormati kebersamaan dalam kebinekaan.

Dengan usulan visi ini mudah-mudahan Kabupaten kita punya daya saing dan keunggulan kompetitif di masa yang akan datang. Bukan sekedar keunggulan komparatif yang hanya mengandalkan sumberdaya alam seperti tersedianya lahan yang luas untuk sawit atau karena adanya potensi tambang. Kebanggaan kita sebenarnya bukan pada berapa investor dan investasi yang masuk, tetapi nilai tambah apa yang terjadi pada masyarakat Kotawaringin Timur dengan adanya investasi dan investor itu.

Kesejahteraan jangka panjang, kelestarian lingkungan, dan martabat sebagai bangsa. Kira-kira itulah tiga kata kunci yang harus kita pertahankan ditengah persaingan ekonomi regional di kawasan saat ini. Ini untuk mencegah para investor hanya mengeruk keuntungan semata dan memperlakukan daerah kita tidak lebih dari unsur produksi atau penyedia lahan dan bahan semata.


torsdag den 31 maj 2007

KENAPA KITA GAMPANG TERPANCING?

Bentrok Monas”, begitu saya suka menyebutnya, dimana sejumlah orang yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam) menyerang sejumlah orang yang menyebut dirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kejadiannya di Monas, sebuah tempat penting yang merupakan ikon bangsa.

Bentrok Monas sebenarnya hanya merupakan peristiwa biasa yang tidak seberapa. Yang luar biasa adalah liputan media dengan segala ulasannya dan reaksi dari para pejabat di Indonesia. Luar biasa, karena hanya untuk peristiwa seperti itu, liputan media sedemikian maraknya dan perkara ini langsung ditanggapi oleh presiden. Apakah karena peristiwa ini terjadi di Jakarta?

Orang bisa saja berdalih dan mengemukakan berbagai penelahaan maupun ulasannya untuk membuat peristiwa ini menjadi “sangat besar”. Media yang mempunyai agenda sendiri bahkan mungkin mempunyai skenario untuk membuat “setting” untuk menjadikan peristiwa karena ada target tertentu. Kelompok yang mengaku sebagai aliansi kebangsaan itu juga tidak jelas asal usulnya, anasirnya, walaupun ada seorang yang konon seorang kiyai bergabung dalam kelompok itu dan menyebut-nyebut Nahdatul Ulama ketika diwawancarai TV.

Yang pasti terlihat adalah reaksi berlebihan terhadap peristiwa ini. Peristiwa ini memang potensial untuk dibesarkan dan dimediakan secara besar-besaran. Sebagaimana sering dikatakan para sejarawan bahwa “sebatang pohon yang besar berawal dari biji yang kecil”. Tetapi apakah bentrok itu mesti dilaporkan ke Mabes Polri atau Polda? Selain ingin menunjukkan peristiwa ini berskala nasional dan sepertinya sangat gawat, ini menunjukkan semangat otonomi dan desentralisasi yang setengah hati.

Bentrok monas selayaknya cukup ditangani oleh kepolisian setempat saja. Dalam kasus ini “tangan Polri” di Jakarta yang sekelas Polres dan Polsek sepertinya dimandulkan atau dianggap tidak mampu untuk menangani peristiwa sekelas itu. Artinya Polri sendiri tidak punya keinginan untuk meningkatkan kapasitas aparat di bawahnya. Selain itu, peristiwa demikian cukup dikomentari oleh Walikota atau Gubernur DKI. Kalau sampai presiden ikut berkomentar, pancingan pihak-pihak yang mendisain bentrok monas, justeru berhasil. Apalagi tempatnya di monas. Ini berarti betul-betul skala nasional. Apa kata dunia?

Saya tidak ingin membela FPI juga tidak ingin menyalahkannya. Sebagaimana saya sangat tidak ingin bersimpati kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagaimana juga tidak ingin menghujatnya. Meski jujur saja, sebagai anak bangsa, saya kagum dengan Aliansi ini yang berniat memperingati mengkristalnya nilai-nilai bangsa dalam falsafah Pancasila, di saat nasionalisme dan jatidiri bangsa sedang menurun. Tetapi saya juga menyadari betapa tidak logisnya kelompok ini. Tidak ada kebebasan dalam beragama, yang ada adalah kebebasan dalam memilih agama.

Agama bukan musik rock yang membuat penyanyinya jumpalitan seenaknya. Tetapi cobalah penyanyi rok suaranya sumbang, pales, atau musiknya diganti dangdut. Namanya bukan rock lagi. Atau cobalah beri nama kelompok musik itu rock tetapi lagu yang dinyanyikan dangdut sementara pakaiannya ala keroncongan, dan tidak ada nada atau irama yang dipakai? Apakah ia masih berhak disebut musik rock? Lha, wong musik rock saja ada pakem-nya. Masak agama dibuat bebas? Kalau kebebasan agama dan kebebasan berkeyakinan dibuka lebar-lebar, apakah agama lagi namanya? Yang benar saja!

Yang pasti bentrok monas bukanlah peristiwa yang terjadi begitu saja. Ada pihak yang membuat skenario dan merencanakan sesuatu di balik itu. Sebagai bangsa, kita harus lebih cerdas untuk tidak terpancing dengan ”umpan-umpan” apalgi cuma umpan kecil yang dikirimkan oleh orang luar ataupun para petualang yang ingin memancing kekeruhan di republik ini. Di tengah ataupun dibalik isu demokratisasi dan penghormatan atas hak asasi manusia, ataupun atas nama kebinekaan, orang dapat membuat aksi-aksi yang sebenarnya melupakan esensi eksistensi kita sebagai bangsa yakni penghayatan agama, adat ketimuran, dan kebersamaan. Bukan sekedar mencuatkan diakui karena berbeda.

Akhir-akhir ini kita seperti bangsa yang tidak punya identitas dan terombang-ambing dalam isu-isu yang dilempar pihak luar. Isu globalisasi ekonomi, kesetaraan gender, dan benyak isu aneh yang sebenarnya tidak kita perlukan karena nilai-nilai budaya kita sangat kental dengan nuansa-nuansa tersebut, meskipun tidak dilaksanakan secara vulgar dan ekstrem. Kata kuncinya ada pada keberanian pemerintah untuk bertindak tegas terhadap akar masalahnya misalnya menindaklanjuti fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah. Ini jika pemerintah kita menganggap MUI sebagai lembaga yang penting dan bukan sekedar lembaga boneka atau sekedar pendorong mobil mogok kebijakan pemerintah.

Kita semestinya menyelidiki lebih dalam tentang isu-isu dan gejolak yang sengaja diciptakan oleh asing dan kaki tangannya, dengan lebih berani memihak pada kepentingan bangsa dan bukan sekedar agenda internasional. Diperlukan intelijen yang lebih cerdas dan lebih tangkas.

Kamis, 05 Juni 2008

SAMPiTnews